Kisah Horor Pendidikan Publik
Oleh : Tom Montalk
Sumber : Montalk.net
"Sekolah itu menyebalkan."
Apa yang diajarkan di sekolah itu random, tidak berguna, dan tidak berarti.
Di dalam kelas, begitu banyak waktu dihabiskan untuk topik yang tidak berguna. Kualitas pendidikan telah dikorbankan untuk kuantitas, dan sebagai akibatnya, inflasi akademis dan penurunan nilai informasi mengubah otak-otak cerdas para siswa menjadi jamuran.
Dengan tujuan menjadi multikultural dan bisa dipersembahkan pada publik, kurikulum kelas telah menjadi dangkal dan tidak terorganisir dengan baik, tidak nyambung dengan apa yang seharusnya diketahui para siswa. Topik yang diajarkan, diajarkan dengan sedikit-sedikit dan guru-guru tidak pernah menghabiskan waktu luang untuk mengajarkan siswanya gambaran keseluruhan mengenai guna ilmu yang diajarkan tersebut.
Contohnya, pelajaran geometri dan fisika bisa dikuasai dengan baik oleh murid kebanyakan, namun koneksi dan komunikasi antara keduanya seringkali tidak diketahui. Saat fisika diajarkan di SMP atau SMA, biasanya mereka mengajarkan hal paling mendasar dari konsep, demikian juga geometri. Tanpa kesinambungan antara keduanya, ilmu ini akan kehilangan efektifitas dan tujuannya.
Ilmu yang menyambungkan pengetahuan inilah yang biasanya tidak dipedulikan dan tidak diajarkan di sekolah formal, dan hal ini membuat pengalaman kita belajar di sekolah menjadi random. Kita hanya mengingat fakta-fakta tidak jelas, tidak berguna dan tidak bisa diaplikasikan.
Beberapa judul mata pelajaran malah bukan pengetahuan yang real. Buku-buku sejarah berisi berbagai macam hal yang tidak akurat dan telah dimanipulasi demi mendapatkan persetujuan dari murid-murid, untuk mendukung suatu partai atau institusi tertentu. Mungkin negara.
Hal ini membuat saya takjub, bagaimana di lapangan kita bisa menemukan orang-orang yang lulus SMA dengan pengetahuan yang tidak lebih dari anak kelas 6 SD. Banyak pengetahuan sejarah, biologi, fisika dsb dilupakan.
Jika selama ini guru-guru itu mengajar ke kelas kosong sepanjang tahun, mungkin hasilnya akan sama saja. Tidak ada perbedaan isi di dalam otak orang-orang tersebut.
Sekolah Banyak Menyia-nyiakan Waktu
Tujuan dari pendidikan seharusnya menghasilkan seseorang yang mandiri, pemikir yang kompeten. Seseorang yang bisa membuat perbedaan di dunia ini, membuat dunia menjadi lebih baik. Seseorang yang bisa bertahan dengan baik di dunia ini, meraih sukses.
Jadi kenapa kita harus menghabiskan waktu sekolah dengan segala rapat umum, permainan sepakbola dan basket, prom, pendidikan seks, pendidikan kematian, kuis-kuis, dan pertemuan OSIS?
Ya, ya. Tanpa itu semua, sekolah akan membosankan. Tapi, sekolah seharusnya menjadi sarana untuk menyiapkan manusia muda untuk menghadapi dunia yang real, yang sesungguhnya. Sekolah melakukan hal ini dengan eksesif, terlalu banyak acara, membuat rasa senang yang seharusnya bisa dirasakan menjadi palsu dan berbahaya secara sosial.
Apakah sapu yang anda miliki juga bisa merangkap menjadi 'sapu pelaksana segalanya' dan mencuci piring anda, meluruskan rambut anda, menghasilkan uang, dan menjadi teman kencan anda di malam minggu? Tidak. sapu ya sapu, tugasnya untuk menyapu.
Jika kita mengeliminasi hal-hal yang tidak penting dari sekolah, sekolah akan menjadi 4 jam sehari dan mungkin 120 hari per-tahun. Anak-anak akan mendapatkan tidur yang lebih banyak, mempunyai waktu yang lebih banyak untuk berpikir dan tumbuh dewasa. Benar-benar hidup.
Ah, tapi itu akan sangat mengganggu orangtua yang bekerja 8 jam per-hari, dan industri pendidikan tidak akan dibayar sebanyak seharusnya.
Begitu banyak hal di sekolah berputar pada aktivitas ekstrakulikuler yang apabila dihabiskan untuk mengalami hal-hal sungguhan dalam hidup akan sangat bermanfaat.
Hal ini berakibat pada siswa-siswa yang bergantung pada sistem dan terisolasi dari dunia yang sebenarnya. Disfungsi pada sosial, finansial dan juga akademik. Sekali lagi, kuantitas diatas kualitas, karena tidak akan ada keuntungan bagi penyedia jasa untuk kualitas.
Kualitas hanya membantu mereka yang membutuhkan ilmunya, para siswa. Namun saat para siswa tersebut dibodohi sampai level yang saat ini berada, ketajaman cara pikir dan sudut pandang, serta apresiasi akan kualitas pendidikan menjadi hilang.
Selain masalah ini, hampir semua orang bahagia.
Orangtua bahagia. Ibu-ibu bisa menonton sinetron dan para ayah bisa bekerja selagi anak-anak mereka dirawat. Mereka tidak perlu merasa khawatir untuk mengajar moral atau etika kepada anak-anak mereka karena sekolah telah mengajarkannya. Mereka tidak perlu menghibur anak mereka atau menghabiskan waktu yang banyak untuk mereka karena anak-anak ini terlalu sibuk dihibur di sekolah.
Para orangtua perfeksionis membuat anak mereka kompetitif bukan dengan mendampingi anak mereka dan membantunya dalam urusan sehari-hari, namun dengan cara berteriak pada mereka saat raport mereka keluar. Karena masyarakat umum mempunyai pengetahuan setaraf anak kelas 6 SD, orangtua hanya bisa membantu anak-anak mereka sampai saat itu. Selanjutnya, mereka tidak lagi mengerti. Tentu ada pengecualian, ketika orangtua mereka guru atau orang pintar, namun orangtua yang semacam ini sangat minoritas.
Para guru bahagia, mereka mempunyai pekerjaan tetap dari jam 8 sampai jam 5 sore. Semakin keras mereka bekerja, semakin banyak bayaran mereka. Semakin banyak program sekolah beredar, semakin banyak uang yang mereka dapatkan. Semakin banyak sekolah mempunyai program, semakin banyak anggaran yang didapatkan dari negara/institusi pusat.
Semuanya bahagia, semua. Kecuali para siswa.
Tapi siapa yang peduli? Memangnya mereka siapa? Apa yang mereka tahu?
Mereka yang punya uang banyak yang membuat peraturan, dan para siswa hanya memegang beberapa ribu rupiah tiap hari untuk membeli susu atau coklat.
Di sekolah, siswa menghabiskan waktu lebih banyak untuk mengerti cara 'menurut' dan untuk mengerti hal apa yang seharusnya dipikirkan, dan bukannya bagaimana cara berpikir sesuai kebutuhan masing-masing individu.
Faktanya satu : 3/4 waktu di sekolah terbuang sia-sia.
Silakan ingat kembali saat-saat anda duduk di bangku SD dan ingat seberapa banyak waktu dihabiskan untuk mengajari anda cara bertingkah laku. Anda akan menyadari bahwa apa yang menyamar sebagai 'pelajaran' itu sebetulnya adalah 'cara memprogram' anda.
Lalu ingat kembali saat anda masuk ke SMA, saat kita tidak lagi belajar bagaimana cara untuk menulis dengan baik. Guru-guru tidak lagi peduli seberapa bagus tulisan anda.
Di dunia perkuliahan, para dosen malah lebih tidak peduli lagi. Mencatat atau tidak, yang penting ketika ujian para siswa bisa menjawab dengan tulisan tangan yang paling tidak bisa dibaca.
Lalu apa gunanya tahun-tahun penuh hukuman ketika kita tidak bisa membuat strip di huruf 't' dengan baik, ketika kita tidak bisa menulis huruf dengan ukuran yang sempurna, bagaimana cara menulis huruf 'G' dengan ukiran sempurna, bagaimana cara membuat itu semua proporsional?
Satu-satunya hal yang dihasilkan dari seluruh pelajaran itu adalah kondisi dimana siswa takut akan hukuman atau penolakan dari orang di sekelilingnya, serta kondisi dimana siswa menurut akan keinginan pihak yang lebih 'tinggi'.
Para Siswa Tidak Bersalah
Namun ini bukan masalah paling buruk. Hal yang paling mengerikan adalah sekolah bukan hanya memproduksi kurikulum yang kacau, tapi juga memaksa muridnya untuk berpartisipasi di dalamnya. Sebetulnya terserah sekolah untuk memberi tugas-tugas dangkal atau memproduksi sesuatu yang tidak berguna, tapi memaksa muridnya berpartisipasi, hal ini masuk ke dalam level kriminalitas yang berbeda.
Sederhananya, para siswa dipaksa untuk mengerjakan PR-PR banyak dan tidak berguna untuk menghindari mereka belajar sesuatu yang berguna. Hampir seluruh hal penting yang saya pelajari, saya mempelajarinya di luar sekolah. Selama SMP, tugas yang diberikan kepada saya cukup sedikit, dan saya bisa menyelesaikannya di kelas. Ini membuat saya memiliki waktu luang untuk pergi ke perpustakaan dan memulai belajar hal-hal metafisika, untuk belajar mengenai kebenaran dan belajar dari pengalaman saya sendiri untuk menguak kebenaran sejati.
Saya mungkin pengecualian, tapi jika saya dipaksa untuk mengerjakan PR yang bertambah dua kali lebih banyak, saya tidak akan punya waktu untuk belajar hal-hal baru ini. Dan hal inilah yang terjadi dengan murid-murid saat ini, mereka tidak lagi mempunyai waktu untuk belajar apa yang benar dan kebenaran sejati karena kuantitas PR mereka telah bertambah berkali-kali lipat.
Ketika saya masuk SMA, tugas-tugas yang diberikan bertambah banyak dan tugas-tugas itu mengajarkan hal-hal yang tidak penting (percayalah, saya mencoba untuk mencari sesuatu yang berguna dalam tugas-tugas itu), yang merampas waktu saya. Apa yang diajarkan kepada saya telah dibagi menjadi bagian-bagian kecil, penuh dengan eror dan jalan buntu, dangkal, dan sangat politikal, sampai kurang masuk akal.
Apakah sudah menjadi tugas saya untuk menggabungkan materi-materi itu sehingga menjadi ilmu yang bisa diaplikasikan? Tentu saja, tapi banyaknya PR dan waktu di sekolah membuat saya tidak lagi mempunyai waktu untuk menganalisa ilmu itu sendiri.
Sekali lagi, kuantitas melebihi kualitas.
Saat saya menulis ini, saya sedang menjadi siswa di masa perkuliahan, dan tidak ada bedanya. Tekanan-tekanan tetap ada, namun sekarang saya lebih bijaksana dan 'menangkap' trik mereka yang mau menghasilkan robot-robot pekerja dan bukan manusia sungguhan.
Para siswa (kecuali yang benar-benar tidak peduli), tidak bersalah akan kekurangkan skill dalam berpikir kritis. Mereka bukan tertahan dalam kemalasan mereka, namun mereka ditahan oleh sistem yang didesain oleh mereka yang berkuasa.
Mereka harus menuruti peraturan dan hanya belajar hal-hal yang 'harus' mereka pelajari.
Terlalu Banyak Pengetahuan Menyebabkan Disfungsi Pikiran
Ada begitu banyak konsekuensi dari program pendidikan ini. Anak-anak banyak yang mengalami stres di sekolah karena hal ini, dan sebagai konsekuensinya mereka bergerak ke mode pertahanan. Mode pertahanan ini terdiri dari mengambil jalan pintas dan mengklaim kemenangan terbesar dengan upaya terkecil.
Nilai menjadi tujuan akhir dan tujuan utama dari pendidikan menjadi terbengkalai.
Belajar hanya diaplikasikan sebelum mengikuti ujian namun bukan kegiatan teratur. Mereka berusaha 'kabur' dengan cara menonton televisi, meminum alkohol, drugs, terlalu sosial dan banyak hal lain yang dipresepsikan sebagai buruk. Hal ini sekali lagi mengganggu siswa untuk belajar apa yang benar-benar dibutuhkan.
Dibawah tekanan yang seperti itu, para siswa akan terbagi menjadi dua grup : grup yang patuh dan grup yang gagal patuh.
Mereka yang patuh belajar untuk tahu alur permainan dan mengaplikasikannya, meskipun aturan-aturan di dalamnya tidak logis. Mereka memainkannya untuk memuaskan institusi diatas mereka. Mereka menjadi terpisah dari realita, dari apa yang benar-benar penting, dan dipisahkan dari potensi mereka, inspirasi, kreatifitas dan originalitas mereka sebagai seorang anak.
Kuantitas yang lebih penting dari kualitas membuat mereka tidak bisa berpikir jauh. Mereka diajarkan untuk patuh dan akan dihormati orang-orang di sekitarnya untuk seberapa besar mereka bisa beradaptasi dalam sistem ini.
Rasa penasaran untuk membuka rahasia dunia diganti menjadi percobaan-percobaan panjang dan menyedihkan untuk menghindari kegagalan.
Mereka yang tidak patuh akan jatuh di belakang, kecuali mereka cukup pintar untuk menemukan sumber pengetahuan lain yang membawa manfaat bagi mereka.
Nilai mereka menjadi dibawah rata-rata karena mereka muak dengan bayang-bayang sistem dan tidak lagi mau memuaskannya. Peluang untuk lulus dan mengambil pendidikan yang lebih tinggi menjadi kecil, dan banyak dari mereka yang keluar sekolah atau bekerja dengan gaji rendah.
Hukuman untuk menolak menjadi patuh adalah penolakan masyarakat dan dimasukkan kedalam pekerjaan bergaji rendah.
Jika kita bicara secara hiperbola, siswa-siswa di sekolah formal akan keluar dan terbagi menjadi dua bagian : sebagai robot pekerja handal, atau pegawai rendahan.
Sistem itu Sendiri
Guru-guru juga tidak bisa disalahkan. Mereka seperti tentara di garda depan, melakukan perang untuk memberi pendidikan pada anak-anak murid mereka, menuruti perintah dari atasan mereka yang tidak tahu sama sekali kondisi di garda depan. Atau beberapa orang tahu dan mempunyai motif tertentu.
Para guru banyak mengalami stres, tidak dibayar cukup, dan dibatasi ruang geraknya di dalam kelas. Karena sistem, ancaman legal dari para orangtua, dan peraturan sekolah, para guru diharuskan mengajarkan para muridnya dengan ketat sesuai dengan kurikulum.
Mereka dipaksa untuk mengajar hanya satu subjek dan tidak diperbolehkan mengajar hal lain.
Sekarang, para guru banyak mengkhawatirkan hal-hal kecil seperti mengelola budget sekolah untuk membeli kertas, staples atau selotip. Saat SMA saya menerima ribuan dollar dari komunitas pendidikan, sekolah saya menggunakan uang itu untuk membeli peralatan komputer yang bahkan tidak dibutuhkan dan tidak pernah dipakai, hanya karena mengikuti tren teknologi. Uang yang seharusnya bisa dialokasikan untuk membeli hal-hal kecil, keperluan sekolah yang lebih penting dan memang banyak digunakan.
Kemewahan di satu tempat, kemiskinan di tempat lain. Gambaran umum dari dunia kita.
Murid-murid yang terganggu ditempatkan di kelas yang sama dengan murid-murid berkelakuan baik, membuat kekacauan di bidang sosialis akademik, dimana kesetaraan diukur dengan mengukur siswa yang bodoh dan pintar. Memisahkan para siswa dengan kriteria yang salah memacu kerusakan sistem dan komponen di dalamnya.
Siswa diletakkan berdasarkan tingkat kelas, sementara seharusnya mereka dikategorikan sesuai pengetahuan dan skill yang mereka miliki.
Hal ini membuat satu situasi terjadi : yang pintar menjadi bodoh, dan yang bodoh belajar menghabiskan waktu teman-temannya yang pintar.
Para guru menghabiskan lebih banyak waktu mengajari siswanya bagaimana cara diam dan duduk dengan rapi, serta memperhatikan gurunya. Karena mereka sangat kekurangan metode untuk membuat siswanya dsiplin, para guru dan siswa harus mengorbankan banyak waktu demi menenangkan siswa yang ribut, meskipun jumlahnya sangat minoritas.
Para guru menjadi banyak tidak sabar pada para siswa dan terkadang malah 'menyerang' siswanya sebagai bentuk kekesalannya. Sedangkan siswanya melihat para guru sebagai figur penguasa dan harus ditantang. Para guru kemudian membuat peraturan-peraturan tidak logis untuk mengetes seberapa jauh siswa bisa menurut. Mereka menyuruhnya untuk berjalan dengan sikap tertentu di perpustakaan, masuk dan keluar lewat pintu tertentu di jam tertentu dan selain jam tersebut siswa dilarang melakukannya, dsb. Hal-hal kecil yang membuat siswa sebal dan para petinggi sekolah merasa senang karena mereka bisa merasa bahwa mereka mempunyai kekuatan untuk membuat seseorang mau melakukan sesuatu.
Ketegangan ini membuat para siswa dan guru terlibat suatu ketegangan, membuat acara mengajar menjadi negatif. Bukannya saling mencintai dan saling hormat, guru dan siswa membenci satu sama lain, tapi tetap melakukan hal-hal yang seharusnya mereka lakukan karena jika tidak, mereka akan menanggung konsekuensinya.
Saat anda melihat siswa, yang anda lihat adalah seseorang dengan ambisi dan inisiatif rendah, namun lapar akan rasa percaya diri dan ingin dikenali. Ini adalah tanda-tanda dari anti hidup, anti individualisme dan anti spirit. Menekan manusia yang luar biasa untuk bisa 'pas' sempurna di kotak bernama pertahanan hidup.
Pengetahuan akhirnya ditempatkan di tempat terbawah, karena para siswa sibuk mencari cara untuk dikenali.
Hasilnya disfungsional.
Bukan individual yang berpikir kritis dan mencari kebenaran dan moralitasnya sendiri, mereka menjadi individual yang memakai baju-baju gila, mempunyai rambut jabrik, dan mencari perhatian lewat hal-hal vulgar. Metode dangkal inilah yang tetap dimaafkan oleh sistem. Namun jiwa asli para manusia, tetap ditekan. Tajam.
Mereka yang rusak mengikuti peraturan guru yang tidak logis dan belajar untuk mempercayai pihak penguasa, bukannya percaya para potensi diri mereka sendiri. Mereka menjadi roda penggerak dari kendaraan sistem. Melanggar peraturan adalah sesuatu yang tabu, membuat mereka sangat nervous dan ketakutan. Mereka menjadi gampang panik dan menjadi individu perfeksionis yang berdiri tinggi di atas fondasi yang bergoyang-goyang.
Saat keunikan individual mereka rusak, mereka menjadi robot yang sangat pintar mengerjakan tugas mereka. Banyak yang melanjutkan kuliah, menerima apa yang diberikan untuk mereka dan menjadi akademis dimana mereka bisa diterima masyarakat dengan baik.
Mereka tidak tahu bahwa menjadi sapi yang terbaik tidak akan membuatmu menjadi peternak terbaik.
Track Lurus
Kita tentu pernah mendengar cerita enterpreneur yang menjadi kaya setelah keluar dari kampus dan mengejar mimpi mereka. Kita mendengar cerita mereka yang hidup pontang-panting, lalu menjadi kaya. Mereka yang menolak menjadi 'biasa' dan membawa perubahan besar di dunia.
Namun apa yang kita dengar di sekolah?
Kita diajarkan bahwa orang-orang ini adalah orang yang berbeda, bukan orang yang bisa diikuti. Hal itu benar, namun mereka mengajarkan bahwa kalian para siswa adalah orang-orang yang tidak berbeda, yang tidak akan mengikuti jejak mereka jika kalian keluar dari sistem.
Jalan lurus para siswa sudah diatur :
Kerjakan PR untuk bisa mendapatkan nilai bagus. Saat anda mendapatkan nilai bagus, raport anda akan diutamakan oleh pemilik lapangan kerja dan kampus. Mungkin anda bisa mendapatkan beasiswa. Jika anda baik di sekolah, anda akan mendapatkan title lulus dan masuk kampus terbaik. Pekerjaan terbaik. Dengan pekerjaan yang baik, anda akan mendapatkan istri yang baik, anak-anak baik, dan hidup yang baik.
Apa yang mereka katakan adalah :
Tidak usah repot-repot berpikir akan mengubah dunia, konsentrasi saja pada nilai bagus karena itu adalah hal yang berarti untuk mereka-mereka yang akan anda layani. Pergi ke kampus dan dapatkan nama bagus di masyarakat, dimana anda mendapatkan pekerjaan aman karena anda sudah dispesialisasikan, tidak ada yang bisa menggantikan tempat anda.
Anda akan bisa menjalankan sistem karena anda akan dilihat sebagai 'fit in', fokuskan energi anda ke area tertentu dan jangan mengkhawatirkan dunia karena selama anda tetap fit in, kami akan memberi anda baju, makanan, dan memberi anda keluarga yang baik. Oh, anda juga akan dikubur di kuburan yang baik.
Keluar dari track lurus ini adalah pengkhianatan akan sistem. Jika anda berani berinisiatif dan mengambil resiko, anda menjadi orang luar, anomali dalam statistik.
Seseorang yang mengancam sistem karena anda adalah bibit yang bisa memutarbalikkan cermin ini dan membuka rahasia dibalik perang yang diam ini.
Menentang.
Adalah point dari artikel ini. Anda tidak bisa sukses, dikenali, dan menjadi seorang manusia sejati kecuali anda berani menentang. Jika anda hanya mengerjakan hal-hal yang orang lain suruh, anda tidak lebih baik dari orang biasa.
Sistem ini telah didesain oleh perusahan terbesar, negara.
Begitu banyak siswa yang ada dibawah ilusi, dimana mereka harus masuk ke jalan lurus dan menjadi sapi yang terbaik, atau mereka akan menjadi seseorang yang gagal di mata masyarakat.
Jika anda mengukur kesuksesan anda dengan melakukan apa yang dikatakan sistem sebagai suatu kesuksesan, anda akan takut menentang karena menentang adalah ciri-ciri dari kegagalan. Namun, anda harus mendesain kembali standar kesuksesan anda. Apakah keluar dari kampus membuat anda gagal?
Di mata para sapi, ya, mungkin begitu. Tapi mengejar pendidikan di tempat lain yang lebih independent dan mengikuti pengalaman real di dunia akan mengganti kegagalan itu.
Berapa banyak orang terkenal yang melakukan hal-hal yang disuruh saja? Yang tidak pernah mengambil resiko dan tidak berani mengganggu status quo?
Tidak banyak.
Kesimpulan.
Pelajarannya adalah, anda harus berani mengambil resiko dan mensejatai inisiatif dari dalam diri anda. Anda juga harus 'selesai' merasa ketakutan dengan sistem, berhenti berjalan di jalan yang mereka mau untuk menjadi sapi. Anda adalah pengecualian, bukan orang biasa.
Karena anda memiliki kekuatan untuk menjadi pengecualian.
Sekarang, para robot di sistem tentu sangat diperlukan. Kita masih membutuhkan karyawan, tentara, dan ilmuwan yang telah dispesialisasikan, namun sekarang ini ada begitu banyak jumlah orang-orang yang 'biasa' ini. Karena itu, kemunculan dari individualis, generalist, dan para enterpreneur sangat diperlukan.
Dan satu-satunya cara untuk mengubah jumlah dari mereka adalah dengan cara menentang sistem, membuat orang-orang seperti anda sadar dan memutuskan untuk menggebrak papan cetakan yang telah disiapkan dan menjalani kehidupan anda sebagai manusia sungguhan, bukan robot atau mesin pekerja.
Sumber : Montalk.net
"Sekolah itu menyebalkan."
Sebagian besar siswa akan setuju, dan banyak dari mereka yang menyuarakan kebencian mereka terhadap kisah horor yang kita namakan pendidikan formal. Pendidikan formal menghasilkan murid-murid baik yang menurut, layaknya domba yang sangat mengagungkan keseragaman dan tersenyum pada kemunafikan sistem di dalamnya.
Artikel ini akan berisi hal yang sama, menyuarakan ketidaksetujuan kepada pendidikan formal, namun ada perbedaan besar di dalamnya.
Perlu anda ketahui, penulis artikel ini bukan merupakan murid malas yang dibenci oleh para guru karena kerapkali bolos sekolah. Bukan.
Perlu anda ketahui, penulis artikel ini bukan merupakan murid malas yang dibenci oleh para guru karena kerapkali bolos sekolah. Bukan.
Penulis artikel ini lulus SMA dengan nilai sempurna (GPA 4.0), absensi sempurna selama 3 tahun, ketua OSIS selama dua tahun, dan mendapatkan beasiswa top untuk masuk ke dunia perkuliahan. Guru-guru mencintai saya, murid-murid takut dan menghormati saya, dan kepala sekolah mengenal saya lebih baik dari saya mengenal beliau.
Cukup untuk membuat anda mual, ini membuat saya juga mual.
Jadi disinilah saya, menggigit tangan orang-orang yang 'memberi saya makanan pendidikan yang salah' itu karena itu semua propaganda. Dan rasanya masam.
Saya tidak menulis artikel ini karena saya iri dengan para cendekiawan yang pintar, atau karena saya berusaha menyalahkan sekolah saya untuk kegagalan yang saya alami di sekolah.
Saya tidak bisa melakukannya, karena saya adalah salah satu cendekiawan itu, dan saya mempunyai sangat sedikit kegagalan saat saya sekolah dulu.
Saya menulis artikel ini karena sistem di dalamnya berantakan. Saya telah mengunjungi bermacam sekolah dan meneliti sistem pendidikan selama 15 tahun, dan saya punya kredibilitas untuk mengklaim hal ini.
Apa yang diajarkan di sekolah itu random, tidak berguna, dan tidak berarti.
Di dalam kelas, begitu banyak waktu dihabiskan untuk topik yang tidak berguna. Kualitas pendidikan telah dikorbankan untuk kuantitas, dan sebagai akibatnya, inflasi akademis dan penurunan nilai informasi mengubah otak-otak cerdas para siswa menjadi jamuran.
Dengan tujuan menjadi multikultural dan bisa dipersembahkan pada publik, kurikulum kelas telah menjadi dangkal dan tidak terorganisir dengan baik, tidak nyambung dengan apa yang seharusnya diketahui para siswa. Topik yang diajarkan, diajarkan dengan sedikit-sedikit dan guru-guru tidak pernah menghabiskan waktu luang untuk mengajarkan siswanya gambaran keseluruhan mengenai guna ilmu yang diajarkan tersebut.
Contohnya, pelajaran geometri dan fisika bisa dikuasai dengan baik oleh murid kebanyakan, namun koneksi dan komunikasi antara keduanya seringkali tidak diketahui. Saat fisika diajarkan di SMP atau SMA, biasanya mereka mengajarkan hal paling mendasar dari konsep, demikian juga geometri. Tanpa kesinambungan antara keduanya, ilmu ini akan kehilangan efektifitas dan tujuannya.
Ilmu yang menyambungkan pengetahuan inilah yang biasanya tidak dipedulikan dan tidak diajarkan di sekolah formal, dan hal ini membuat pengalaman kita belajar di sekolah menjadi random. Kita hanya mengingat fakta-fakta tidak jelas, tidak berguna dan tidak bisa diaplikasikan.
Beberapa judul mata pelajaran malah bukan pengetahuan yang real. Buku-buku sejarah berisi berbagai macam hal yang tidak akurat dan telah dimanipulasi demi mendapatkan persetujuan dari murid-murid, untuk mendukung suatu partai atau institusi tertentu. Mungkin negara.
Hal ini membuat saya takjub, bagaimana di lapangan kita bisa menemukan orang-orang yang lulus SMA dengan pengetahuan yang tidak lebih dari anak kelas 6 SD. Banyak pengetahuan sejarah, biologi, fisika dsb dilupakan.
Jika selama ini guru-guru itu mengajar ke kelas kosong sepanjang tahun, mungkin hasilnya akan sama saja. Tidak ada perbedaan isi di dalam otak orang-orang tersebut.
Sekolah Banyak Menyia-nyiakan Waktu
Tujuan dari pendidikan seharusnya menghasilkan seseorang yang mandiri, pemikir yang kompeten. Seseorang yang bisa membuat perbedaan di dunia ini, membuat dunia menjadi lebih baik. Seseorang yang bisa bertahan dengan baik di dunia ini, meraih sukses.
Jadi kenapa kita harus menghabiskan waktu sekolah dengan segala rapat umum, permainan sepakbola dan basket, prom, pendidikan seks, pendidikan kematian, kuis-kuis, dan pertemuan OSIS?
Ya, ya. Tanpa itu semua, sekolah akan membosankan. Tapi, sekolah seharusnya menjadi sarana untuk menyiapkan manusia muda untuk menghadapi dunia yang real, yang sesungguhnya. Sekolah melakukan hal ini dengan eksesif, terlalu banyak acara, membuat rasa senang yang seharusnya bisa dirasakan menjadi palsu dan berbahaya secara sosial.
Apakah sapu yang anda miliki juga bisa merangkap menjadi 'sapu pelaksana segalanya' dan mencuci piring anda, meluruskan rambut anda, menghasilkan uang, dan menjadi teman kencan anda di malam minggu? Tidak. sapu ya sapu, tugasnya untuk menyapu.
Jika kita mengeliminasi hal-hal yang tidak penting dari sekolah, sekolah akan menjadi 4 jam sehari dan mungkin 120 hari per-tahun. Anak-anak akan mendapatkan tidur yang lebih banyak, mempunyai waktu yang lebih banyak untuk berpikir dan tumbuh dewasa. Benar-benar hidup.
Ah, tapi itu akan sangat mengganggu orangtua yang bekerja 8 jam per-hari, dan industri pendidikan tidak akan dibayar sebanyak seharusnya.
Begitu banyak hal di sekolah berputar pada aktivitas ekstrakulikuler yang apabila dihabiskan untuk mengalami hal-hal sungguhan dalam hidup akan sangat bermanfaat.
Hal ini berakibat pada siswa-siswa yang bergantung pada sistem dan terisolasi dari dunia yang sebenarnya. Disfungsi pada sosial, finansial dan juga akademik. Sekali lagi, kuantitas diatas kualitas, karena tidak akan ada keuntungan bagi penyedia jasa untuk kualitas.
Kualitas hanya membantu mereka yang membutuhkan ilmunya, para siswa. Namun saat para siswa tersebut dibodohi sampai level yang saat ini berada, ketajaman cara pikir dan sudut pandang, serta apresiasi akan kualitas pendidikan menjadi hilang.
Selain masalah ini, hampir semua orang bahagia.
Orangtua bahagia. Ibu-ibu bisa menonton sinetron dan para ayah bisa bekerja selagi anak-anak mereka dirawat. Mereka tidak perlu merasa khawatir untuk mengajar moral atau etika kepada anak-anak mereka karena sekolah telah mengajarkannya. Mereka tidak perlu menghibur anak mereka atau menghabiskan waktu yang banyak untuk mereka karena anak-anak ini terlalu sibuk dihibur di sekolah.
Para orangtua perfeksionis membuat anak mereka kompetitif bukan dengan mendampingi anak mereka dan membantunya dalam urusan sehari-hari, namun dengan cara berteriak pada mereka saat raport mereka keluar. Karena masyarakat umum mempunyai pengetahuan setaraf anak kelas 6 SD, orangtua hanya bisa membantu anak-anak mereka sampai saat itu. Selanjutnya, mereka tidak lagi mengerti. Tentu ada pengecualian, ketika orangtua mereka guru atau orang pintar, namun orangtua yang semacam ini sangat minoritas.
Para guru bahagia, mereka mempunyai pekerjaan tetap dari jam 8 sampai jam 5 sore. Semakin keras mereka bekerja, semakin banyak bayaran mereka. Semakin banyak program sekolah beredar, semakin banyak uang yang mereka dapatkan. Semakin banyak sekolah mempunyai program, semakin banyak anggaran yang didapatkan dari negara/institusi pusat.
Semuanya bahagia, semua. Kecuali para siswa.
Tapi siapa yang peduli? Memangnya mereka siapa? Apa yang mereka tahu?
Mereka yang punya uang banyak yang membuat peraturan, dan para siswa hanya memegang beberapa ribu rupiah tiap hari untuk membeli susu atau coklat.
Di sekolah, siswa menghabiskan waktu lebih banyak untuk mengerti cara 'menurut' dan untuk mengerti hal apa yang seharusnya dipikirkan, dan bukannya bagaimana cara berpikir sesuai kebutuhan masing-masing individu.
Faktanya satu : 3/4 waktu di sekolah terbuang sia-sia.
Silakan ingat kembali saat-saat anda duduk di bangku SD dan ingat seberapa banyak waktu dihabiskan untuk mengajari anda cara bertingkah laku. Anda akan menyadari bahwa apa yang menyamar sebagai 'pelajaran' itu sebetulnya adalah 'cara memprogram' anda.
Lalu ingat kembali saat anda masuk ke SMA, saat kita tidak lagi belajar bagaimana cara untuk menulis dengan baik. Guru-guru tidak lagi peduli seberapa bagus tulisan anda.
Di dunia perkuliahan, para dosen malah lebih tidak peduli lagi. Mencatat atau tidak, yang penting ketika ujian para siswa bisa menjawab dengan tulisan tangan yang paling tidak bisa dibaca.
Lalu apa gunanya tahun-tahun penuh hukuman ketika kita tidak bisa membuat strip di huruf 't' dengan baik, ketika kita tidak bisa menulis huruf dengan ukuran yang sempurna, bagaimana cara menulis huruf 'G' dengan ukiran sempurna, bagaimana cara membuat itu semua proporsional?
Satu-satunya hal yang dihasilkan dari seluruh pelajaran itu adalah kondisi dimana siswa takut akan hukuman atau penolakan dari orang di sekelilingnya, serta kondisi dimana siswa menurut akan keinginan pihak yang lebih 'tinggi'.
Para Siswa Tidak Bersalah
Namun ini bukan masalah paling buruk. Hal yang paling mengerikan adalah sekolah bukan hanya memproduksi kurikulum yang kacau, tapi juga memaksa muridnya untuk berpartisipasi di dalamnya. Sebetulnya terserah sekolah untuk memberi tugas-tugas dangkal atau memproduksi sesuatu yang tidak berguna, tapi memaksa muridnya berpartisipasi, hal ini masuk ke dalam level kriminalitas yang berbeda.
Sederhananya, para siswa dipaksa untuk mengerjakan PR-PR banyak dan tidak berguna untuk menghindari mereka belajar sesuatu yang berguna. Hampir seluruh hal penting yang saya pelajari, saya mempelajarinya di luar sekolah. Selama SMP, tugas yang diberikan kepada saya cukup sedikit, dan saya bisa menyelesaikannya di kelas. Ini membuat saya memiliki waktu luang untuk pergi ke perpustakaan dan memulai belajar hal-hal metafisika, untuk belajar mengenai kebenaran dan belajar dari pengalaman saya sendiri untuk menguak kebenaran sejati.
Saya mungkin pengecualian, tapi jika saya dipaksa untuk mengerjakan PR yang bertambah dua kali lebih banyak, saya tidak akan punya waktu untuk belajar hal-hal baru ini. Dan hal inilah yang terjadi dengan murid-murid saat ini, mereka tidak lagi mempunyai waktu untuk belajar apa yang benar dan kebenaran sejati karena kuantitas PR mereka telah bertambah berkali-kali lipat.
Ketika saya masuk SMA, tugas-tugas yang diberikan bertambah banyak dan tugas-tugas itu mengajarkan hal-hal yang tidak penting (percayalah, saya mencoba untuk mencari sesuatu yang berguna dalam tugas-tugas itu), yang merampas waktu saya. Apa yang diajarkan kepada saya telah dibagi menjadi bagian-bagian kecil, penuh dengan eror dan jalan buntu, dangkal, dan sangat politikal, sampai kurang masuk akal.
Apakah sudah menjadi tugas saya untuk menggabungkan materi-materi itu sehingga menjadi ilmu yang bisa diaplikasikan? Tentu saja, tapi banyaknya PR dan waktu di sekolah membuat saya tidak lagi mempunyai waktu untuk menganalisa ilmu itu sendiri.
Sekali lagi, kuantitas melebihi kualitas.
Saat saya menulis ini, saya sedang menjadi siswa di masa perkuliahan, dan tidak ada bedanya. Tekanan-tekanan tetap ada, namun sekarang saya lebih bijaksana dan 'menangkap' trik mereka yang mau menghasilkan robot-robot pekerja dan bukan manusia sungguhan.
Para siswa (kecuali yang benar-benar tidak peduli), tidak bersalah akan kekurangkan skill dalam berpikir kritis. Mereka bukan tertahan dalam kemalasan mereka, namun mereka ditahan oleh sistem yang didesain oleh mereka yang berkuasa.
Mereka harus menuruti peraturan dan hanya belajar hal-hal yang 'harus' mereka pelajari.
Terlalu Banyak Pengetahuan Menyebabkan Disfungsi Pikiran
Ada begitu banyak konsekuensi dari program pendidikan ini. Anak-anak banyak yang mengalami stres di sekolah karena hal ini, dan sebagai konsekuensinya mereka bergerak ke mode pertahanan. Mode pertahanan ini terdiri dari mengambil jalan pintas dan mengklaim kemenangan terbesar dengan upaya terkecil.
Nilai menjadi tujuan akhir dan tujuan utama dari pendidikan menjadi terbengkalai.
Belajar hanya diaplikasikan sebelum mengikuti ujian namun bukan kegiatan teratur. Mereka berusaha 'kabur' dengan cara menonton televisi, meminum alkohol, drugs, terlalu sosial dan banyak hal lain yang dipresepsikan sebagai buruk. Hal ini sekali lagi mengganggu siswa untuk belajar apa yang benar-benar dibutuhkan.
Dibawah tekanan yang seperti itu, para siswa akan terbagi menjadi dua grup : grup yang patuh dan grup yang gagal patuh.
Mereka yang patuh belajar untuk tahu alur permainan dan mengaplikasikannya, meskipun aturan-aturan di dalamnya tidak logis. Mereka memainkannya untuk memuaskan institusi diatas mereka. Mereka menjadi terpisah dari realita, dari apa yang benar-benar penting, dan dipisahkan dari potensi mereka, inspirasi, kreatifitas dan originalitas mereka sebagai seorang anak.
Kuantitas yang lebih penting dari kualitas membuat mereka tidak bisa berpikir jauh. Mereka diajarkan untuk patuh dan akan dihormati orang-orang di sekitarnya untuk seberapa besar mereka bisa beradaptasi dalam sistem ini.
Rasa penasaran untuk membuka rahasia dunia diganti menjadi percobaan-percobaan panjang dan menyedihkan untuk menghindari kegagalan.
Mereka yang tidak patuh akan jatuh di belakang, kecuali mereka cukup pintar untuk menemukan sumber pengetahuan lain yang membawa manfaat bagi mereka.
Nilai mereka menjadi dibawah rata-rata karena mereka muak dengan bayang-bayang sistem dan tidak lagi mau memuaskannya. Peluang untuk lulus dan mengambil pendidikan yang lebih tinggi menjadi kecil, dan banyak dari mereka yang keluar sekolah atau bekerja dengan gaji rendah.
Hukuman untuk menolak menjadi patuh adalah penolakan masyarakat dan dimasukkan kedalam pekerjaan bergaji rendah.
Jika kita bicara secara hiperbola, siswa-siswa di sekolah formal akan keluar dan terbagi menjadi dua bagian : sebagai robot pekerja handal, atau pegawai rendahan.
Sistem itu Sendiri
Guru-guru juga tidak bisa disalahkan. Mereka seperti tentara di garda depan, melakukan perang untuk memberi pendidikan pada anak-anak murid mereka, menuruti perintah dari atasan mereka yang tidak tahu sama sekali kondisi di garda depan. Atau beberapa orang tahu dan mempunyai motif tertentu.
Para guru banyak mengalami stres, tidak dibayar cukup, dan dibatasi ruang geraknya di dalam kelas. Karena sistem, ancaman legal dari para orangtua, dan peraturan sekolah, para guru diharuskan mengajarkan para muridnya dengan ketat sesuai dengan kurikulum.
Mereka dipaksa untuk mengajar hanya satu subjek dan tidak diperbolehkan mengajar hal lain.
Sekarang, para guru banyak mengkhawatirkan hal-hal kecil seperti mengelola budget sekolah untuk membeli kertas, staples atau selotip. Saat SMA saya menerima ribuan dollar dari komunitas pendidikan, sekolah saya menggunakan uang itu untuk membeli peralatan komputer yang bahkan tidak dibutuhkan dan tidak pernah dipakai, hanya karena mengikuti tren teknologi. Uang yang seharusnya bisa dialokasikan untuk membeli hal-hal kecil, keperluan sekolah yang lebih penting dan memang banyak digunakan.
Kemewahan di satu tempat, kemiskinan di tempat lain. Gambaran umum dari dunia kita.
Murid-murid yang terganggu ditempatkan di kelas yang sama dengan murid-murid berkelakuan baik, membuat kekacauan di bidang sosialis akademik, dimana kesetaraan diukur dengan mengukur siswa yang bodoh dan pintar. Memisahkan para siswa dengan kriteria yang salah memacu kerusakan sistem dan komponen di dalamnya.
Siswa diletakkan berdasarkan tingkat kelas, sementara seharusnya mereka dikategorikan sesuai pengetahuan dan skill yang mereka miliki.
Hal ini membuat satu situasi terjadi : yang pintar menjadi bodoh, dan yang bodoh belajar menghabiskan waktu teman-temannya yang pintar.
Para guru menghabiskan lebih banyak waktu mengajari siswanya bagaimana cara diam dan duduk dengan rapi, serta memperhatikan gurunya. Karena mereka sangat kekurangan metode untuk membuat siswanya dsiplin, para guru dan siswa harus mengorbankan banyak waktu demi menenangkan siswa yang ribut, meskipun jumlahnya sangat minoritas.
Para guru menjadi banyak tidak sabar pada para siswa dan terkadang malah 'menyerang' siswanya sebagai bentuk kekesalannya. Sedangkan siswanya melihat para guru sebagai figur penguasa dan harus ditantang. Para guru kemudian membuat peraturan-peraturan tidak logis untuk mengetes seberapa jauh siswa bisa menurut. Mereka menyuruhnya untuk berjalan dengan sikap tertentu di perpustakaan, masuk dan keluar lewat pintu tertentu di jam tertentu dan selain jam tersebut siswa dilarang melakukannya, dsb. Hal-hal kecil yang membuat siswa sebal dan para petinggi sekolah merasa senang karena mereka bisa merasa bahwa mereka mempunyai kekuatan untuk membuat seseorang mau melakukan sesuatu.
Ketegangan ini membuat para siswa dan guru terlibat suatu ketegangan, membuat acara mengajar menjadi negatif. Bukannya saling mencintai dan saling hormat, guru dan siswa membenci satu sama lain, tapi tetap melakukan hal-hal yang seharusnya mereka lakukan karena jika tidak, mereka akan menanggung konsekuensinya.
Saat anda melihat siswa, yang anda lihat adalah seseorang dengan ambisi dan inisiatif rendah, namun lapar akan rasa percaya diri dan ingin dikenali. Ini adalah tanda-tanda dari anti hidup, anti individualisme dan anti spirit. Menekan manusia yang luar biasa untuk bisa 'pas' sempurna di kotak bernama pertahanan hidup.
Pengetahuan akhirnya ditempatkan di tempat terbawah, karena para siswa sibuk mencari cara untuk dikenali.
Hasilnya disfungsional.
Bukan individual yang berpikir kritis dan mencari kebenaran dan moralitasnya sendiri, mereka menjadi individual yang memakai baju-baju gila, mempunyai rambut jabrik, dan mencari perhatian lewat hal-hal vulgar. Metode dangkal inilah yang tetap dimaafkan oleh sistem. Namun jiwa asli para manusia, tetap ditekan. Tajam.
Mereka yang rusak mengikuti peraturan guru yang tidak logis dan belajar untuk mempercayai pihak penguasa, bukannya percaya para potensi diri mereka sendiri. Mereka menjadi roda penggerak dari kendaraan sistem. Melanggar peraturan adalah sesuatu yang tabu, membuat mereka sangat nervous dan ketakutan. Mereka menjadi gampang panik dan menjadi individu perfeksionis yang berdiri tinggi di atas fondasi yang bergoyang-goyang.
Saat keunikan individual mereka rusak, mereka menjadi robot yang sangat pintar mengerjakan tugas mereka. Banyak yang melanjutkan kuliah, menerima apa yang diberikan untuk mereka dan menjadi akademis dimana mereka bisa diterima masyarakat dengan baik.
Mereka tidak tahu bahwa menjadi sapi yang terbaik tidak akan membuatmu menjadi peternak terbaik.
Track Lurus
Kita tentu pernah mendengar cerita enterpreneur yang menjadi kaya setelah keluar dari kampus dan mengejar mimpi mereka. Kita mendengar cerita mereka yang hidup pontang-panting, lalu menjadi kaya. Mereka yang menolak menjadi 'biasa' dan membawa perubahan besar di dunia.
Namun apa yang kita dengar di sekolah?
Kita diajarkan bahwa orang-orang ini adalah orang yang berbeda, bukan orang yang bisa diikuti. Hal itu benar, namun mereka mengajarkan bahwa kalian para siswa adalah orang-orang yang tidak berbeda, yang tidak akan mengikuti jejak mereka jika kalian keluar dari sistem.
Jalan lurus para siswa sudah diatur :
Kerjakan PR untuk bisa mendapatkan nilai bagus. Saat anda mendapatkan nilai bagus, raport anda akan diutamakan oleh pemilik lapangan kerja dan kampus. Mungkin anda bisa mendapatkan beasiswa. Jika anda baik di sekolah, anda akan mendapatkan title lulus dan masuk kampus terbaik. Pekerjaan terbaik. Dengan pekerjaan yang baik, anda akan mendapatkan istri yang baik, anak-anak baik, dan hidup yang baik.
Apa yang mereka katakan adalah :
Tidak usah repot-repot berpikir akan mengubah dunia, konsentrasi saja pada nilai bagus karena itu adalah hal yang berarti untuk mereka-mereka yang akan anda layani. Pergi ke kampus dan dapatkan nama bagus di masyarakat, dimana anda mendapatkan pekerjaan aman karena anda sudah dispesialisasikan, tidak ada yang bisa menggantikan tempat anda.
Anda akan bisa menjalankan sistem karena anda akan dilihat sebagai 'fit in', fokuskan energi anda ke area tertentu dan jangan mengkhawatirkan dunia karena selama anda tetap fit in, kami akan memberi anda baju, makanan, dan memberi anda keluarga yang baik. Oh, anda juga akan dikubur di kuburan yang baik.
Keluar dari track lurus ini adalah pengkhianatan akan sistem. Jika anda berani berinisiatif dan mengambil resiko, anda menjadi orang luar, anomali dalam statistik.
Seseorang yang mengancam sistem karena anda adalah bibit yang bisa memutarbalikkan cermin ini dan membuka rahasia dibalik perang yang diam ini.
Menentang.
Adalah point dari artikel ini. Anda tidak bisa sukses, dikenali, dan menjadi seorang manusia sejati kecuali anda berani menentang. Jika anda hanya mengerjakan hal-hal yang orang lain suruh, anda tidak lebih baik dari orang biasa.
Sistem ini telah didesain oleh perusahan terbesar, negara.
Begitu banyak siswa yang ada dibawah ilusi, dimana mereka harus masuk ke jalan lurus dan menjadi sapi yang terbaik, atau mereka akan menjadi seseorang yang gagal di mata masyarakat.
Jika anda mengukur kesuksesan anda dengan melakukan apa yang dikatakan sistem sebagai suatu kesuksesan, anda akan takut menentang karena menentang adalah ciri-ciri dari kegagalan. Namun, anda harus mendesain kembali standar kesuksesan anda. Apakah keluar dari kampus membuat anda gagal?
Di mata para sapi, ya, mungkin begitu. Tapi mengejar pendidikan di tempat lain yang lebih independent dan mengikuti pengalaman real di dunia akan mengganti kegagalan itu.
Berapa banyak orang terkenal yang melakukan hal-hal yang disuruh saja? Yang tidak pernah mengambil resiko dan tidak berani mengganggu status quo?
Tidak banyak.
Kesimpulan.
Pelajarannya adalah, anda harus berani mengambil resiko dan mensejatai inisiatif dari dalam diri anda. Anda juga harus 'selesai' merasa ketakutan dengan sistem, berhenti berjalan di jalan yang mereka mau untuk menjadi sapi. Anda adalah pengecualian, bukan orang biasa.
Karena anda memiliki kekuatan untuk menjadi pengecualian.
Sekarang, para robot di sistem tentu sangat diperlukan. Kita masih membutuhkan karyawan, tentara, dan ilmuwan yang telah dispesialisasikan, namun sekarang ini ada begitu banyak jumlah orang-orang yang 'biasa' ini. Karena itu, kemunculan dari individualis, generalist, dan para enterpreneur sangat diperlukan.
Dan satu-satunya cara untuk mengubah jumlah dari mereka adalah dengan cara menentang sistem, membuat orang-orang seperti anda sadar dan memutuskan untuk menggebrak papan cetakan yang telah disiapkan dan menjalani kehidupan anda sebagai manusia sungguhan, bukan robot atau mesin pekerja.
Lalu artikel ini akan berhubungan dengan artikel "cara keluar dari sistem matrix"
ReplyDeleteHaha that's an idea :) montalk.net memang banyak membicarakan the matrix gan fikri, dan sekarang2 ini sumber blog ini bakal banyak mengacu kesitu
DeleteMaaf Ganggu, sesama umat manusia harus saling membantu
ReplyDeletedisini aku ingin memberikan solusi untuk cara mendapatkan
pundi pundi uang untuk menutupi kebutuhan, ini memang NYATA !!!
Silahkan bergabung dengan keberuntungan yang melimpah
di P-O-K-E-R-A-Y-A-M.co dan dapatkan jackpot ratusan juta
Hanya dengan Minimal Deposit 10 ribu akan menjadi Rumah Mewah
info keberuntungan lebih lanjut bbm : D8E5205A